
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute-Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Mayjend (purn) Yitzhak Brik, salah satu analis militer paling disegani di Israel, tampil di kanal 12 televisi Israel dan mengaku “terkejut dan takjub” melihat kebangkitan cepat Hamas di Gaza, dunia seakan menyaksikan titik balik dramatis dari perang dua tahun yang menelan ratusan ribu korban jiwa.
Brik, yang sebelumnya termasuk deretan tokoh militer yang memprediksi “akhir Hamas”, kini justru mengakui bahwa kelompok tersebut kembali menguasai lapangan “dengan ketertiban, disiplin, dan kepercayaan diri” hanya dalam 24 jam setelah deklarasi gencatan senjata.
“Bagaimana bisa Hamas menempatkan tujuh ribu polisi bersenjata di jalan-jalan Gaza begitu cepat, di bawah hidung tentara Israel?” tanya Brik. Pertanyaan itu menggema jauh melampaui batas militer; ia menandai krisis epistemik dalam perhitungan kekuasaan: kekuatan yang bertahan bukan hanya karena senjata, tapi karena legitimasi sosial, jaringan sipil, dan kemampuan mengatur kehidupan.
Gaza Pasca Perang
Analisis Brik menjadi semakin menarik ketika disandingkan dengan Deklarasi Sharm el-Sheikh (13–14 Oktober 2025) yang ditandatangani Donald Trump, Abdel Fattah al-Sisi, Recep Tayyip Erdoğan, dan Tamim bin Hamad Al Thani.
Dokumen itu berjanji menghadirkan “era baru perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Timur Tengah” dengan menekankan penghormatan HAM, rekonstruksi Gaza, dan komitmen menolak ekstremisme.
Namun, deklarasi itu tak menyebut satu hal penting: siapa yang akan mengelola Gaza “pada hari setelah perang.” Celah inilah yang kini terisi oleh realitas lapangan — bukan oleh kesepakatan diplomatik. Dalam hitungan hari, Hamas menata kembali lembaga sipil, menyalakan kembali listrik, membuka pasar, memulihkan rumah sakit, bahkan mengatur distribusi bantuan bersama UNRWA.
Dunia mungkin tak ingin mengakuinya, tapi Gaza kini kembali berada di bawah kendali penuh kelompok yang dua tahun lalu ingin “dihapus dari peta.”
Perdamaian Semu tanpa Legitimasi
Paradoks besar Sharm el-Sheikh adalah bahwa ia menjanjikan perdamaian, tetapi menghindari persoalan kekuasaan. Deklarasi itu menuntut “penghapusan ekstremisme”, namun tidak menyinggung ekstremisme negara — kebijakan apartheid, blokade, dan aneksasi yang menjadi akar kekerasan. Bagi sebagian analis, ini seperti ‘paracetamol’, resep perdamaian yang hanya menenangkan gejala tanpa mengobati penyakitnya.
Pengakuan Brik memperkuat kesimpulan itu. Ia menunjukkan bahwa realitas militer dan sosial di Gaza tak dapat dihapus oleh bombardir atau embargo. Hamas, dengan seluruh kontroversinya, tetap menjadi aktor politik dan sosial utama di wilayah itu. Ia bukan sekadar milisi, melainkan jaringan masyarakat dengan sistem layanan publik dan infrastruktur sosial yang membentuk legitimasi dari bawah.
Ketika kekuatan global berbicara tentang “rekonstruksi tanpa politik”, Brik memperingatkan bahwa itu hanya menunda siklus berikutnya dari perang yang sama.
Erdogan, Trump, dan Kalkulasi Geopolitik
Rumor yang beredar — sebagaimana dikutip berbagai media regional — menyebutkan bahwa ada kesepakatan diam-diam antara Ankara dan Washington untuk memberi Hamas ruang terbatas mengelola Gaza di bawah pengawasan internasional. Belum ada bukti pasti, tetapi tanda-tandanya terlihat dari koordinasi cepat antara Mesir, Qatar, dan Turki dalam pengiriman bantuan dan pengaturan keamanan pasca gencatan.
.png)
4 hours ago
3
















































