
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Beberapa hari setelah pengumuman gencatan senjata di Gaza, aliran bantuan kemanusiaan ke daerah kantong yang hancur itu masih sangat terbatas.
Akibatnya ribuan anak-anak dan pasien rentan lainnya berjuang untuk bertahan hidup. Hingga Kamis (16/10/2025), kurang dari 300 truk memasuki Gaza setiap hari, hanya setengah dari apa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan dasar.
Menurut laporan Al Jazeera banyak truk-truk ini mengangkut barang-barang komersil, bukannya pasokan medis atau bantuan. Sehingga rumah sakit dan keluarga-keluarga pengungsi tidak memperoleh kebutuhan pokok yang mereka butuhkan.
Anak-anak di seluruh Gaza menghadapi kekurangan yang parah karena mereka tidak memiliki pakaian, sepatu, perlengkapan kebersihan, atau pasokan medis.
Sedangkan truk yang masuk membawa produk komersial yang dijual di pasar, tetapi orang-orang tidak mampu membelinya. Lagipula, bank masih tutup, dan keluarga tidak punya uang.
Di Rumah Sakit Patient's Friends Benevolent Society (PFBS) di Kota Gaza, para dokter menggambarkan situasinya sebagai mengerikan.
Persediaan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar hampir habis, dan anak-anak yang kekurangan gizi datang dalam kondisi kritis.
“Kami masih menunggu bantuan medis dan kemanusiaan untuk mencapai rumah sakit kami,” kata Dr. Musab Farwana, seorang dokter anak.
“Begitu bantuan itu tiba, kondisinya pasti akan membaik, terutama bagi anak-anak yang paling menderita akibat kekurangan gizi selama dua tahun perang,” tambahnya.
Di antara mereka yang menunggu dengan cemas, Randa Aldhadar, ibu dari bayi Ruqayya. Ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa putrinya "di ambang kematian" karena kelaparan.
“Saya tak bisa memproduksi ASI lagi,” kata Randa, seraya menambahkan, “Rumah sakit tidak menyediakan apa yang ia butuhkan: susu, biskuit, atau suplemen gizi untuk membantunya pulih.”
Dua tahun pemboman Israel telah menghancurkan infrastruktur medis Gaza, menghancurkan rumah sakit, menewaskan staf medis, dan membuat wilayah itu berada di bawah blokade kemanusiaan penuh.
Meskipun kesepakatan gencatan senjata baru-baru ini mencakup kesepakatan untuk membebaskan tawanan di kedua belah pihak dan melonggarkan pembatasan bantuan kemanusiaan, pendudukan Israel terus membatasi jumlah truk yang memasuki Gaza.
Bahkan menghalangi sebagian besar pengiriman bantuan ke rumah sakit.
Di Rumah Sakit PFBS, Tahani Hassouna merawat bayinya, Alma, yang menderita penyakit jantung serius.
"Karena keterbatasan peralatan, ia tidak mendapatkan perawatan yang dibutuhkan," ujarnya.
"Berat badannya tidak bisa naik dan harus bergantung sepenuhnya pada oksigen untuk bernapas. Setiap hari saya menunggu perbatasan dibuka agar bisa membawanya ke luar negeri untuk operasi," tambahnya.
Pendudukan Israel belum membuka kembali penyeberangan Rafah, pintu gerbang utama untuk bantuan dan evakuasi pasien.
Badan militer Israel yang mengawasi urusan Gaza, COGAT, mengumumkan pada Kamis bahwa tidak ada bantuan kemanusiaan yang akan melewati Rafah, dengan mengatakan akses tersebut "tidak pernah disepakati."
Sebaliknya, mereka bersikeras bahwa bantuan terbatas akan terus masuk melalui Kerem Shalom dan penyeberangan lainnya.
Di Rumah Sakit al-Shifa, direktur medis Dr. Mohammed Abu Salmiya mengatakan bahwa meskipun ada gencatan senjata, "tidak ada peningkatan yang nyata" dalam ketersediaan obat-obatan atau layanan kesehatan.
“Tidak ada yang berubah di rumah sakit-rumah sakit di Gaza,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa “Para pasien masih menunggu, dan begitu pula kami.”
9.000 Warga Palestina masih Berada di Penjara Israel
Meskipun hampir 2.000 tahanan Palestina dibebaskan pada hari Senin sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran dengan pendudukan Israel, lebih dari 9.100 warga Palestina masih berada dalam tahanan Israel. Mereka banyak yang menghadapi kondisi yang keras dan penganiayaan.
Pertukaran baru-baru ini melibatkan pembebasan 20 tawanan Israel yang ditahan di Gaza, menandai pertukaran tahanan ketiga antara pendudukan Israel dan Hamas sejak konflik dimulai pada Oktober 2023.
Pertukaran sebelumnya mencakup pembebasan 240 warga Palestina selama gencatan senjata singkat tujuh hari dengan imbalan 105 tawanan.
Adapun pertukaran kedua pada Januari-Februari yang membebaskan 1.778 warga Palestina dengan imbalan 38 warga Israel.
Secara total, 3.985 warga Palestina telah dibebaskan dengan imbalan 163 warga Israel.
Namun, mayoritas tawanan Israel yang masih hidup kini telah dipulangkan, meninggalkan lebih dari 9.100 warga Palestina dalam tahanan.
Banyak yang ditahan tanpa dakwaan atau pengadilan dalam kondisi yang digambarkan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia sebagai "kamp penyiksaan", tempat penyiksaan, pemukulan, kelaparan, dan penghinaan menjadi hal yang biasa.
Sebelum genosida, sekitar 5.000 warga Palestina dipenjara; jumlah itu meningkat menjadi lebih dari 11.100 pada Oktober 2025, tetapi turun menjadi sekitar 9.100 setelah pertukaran terakhir.
Di antara mereka yang ditahan ada 52 perempuan, sekitar 400 anak di bawah usia 18 tahun, dan sejumlah pekerja medis, jurnalis, aktivis, dan warga sipil yang ditahan atas tuduhan yang tidak jelas seperti “hasutan.”
Saat ini, tercatat 3.544 warga Palestina ditahan di bawah penahanan administratif, yang memungkinkan pemenjaraan tanpa batas waktu tanpa diadili.
Selain itu ratusan lainnya dari Gaza ditahan di bawah undang-undang “Pejuang Ilegal” Israel, meskipun mereka tidak terlibat dalam aktivitas militer.
Jumlah warga Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup turun dari 580 menjadi sekitar 62 setelah pertukaran tersebut. Sedikitnya 319 lainnya yang menjalani hukuman jangka panjang juga dibebaskan.
Banyak tahanan yang baru dibebaskan menunjukkan tanda-tanda nyata penganiayaan fisik dan psikologis.
Pengacara di Addameer Prisoner Support, Tala Nasser, mengutuk penganiayaan yang terus berlanjut dan penolakan kunjungan Komite Palang Merah Internasional serta kontak keluarga.
Ia menekankan perlunya akuntabilitas yang berkelanjutan.
Sejak genosida dimulai, kelompok-kelompok hak asasi manusia melaporkan pelanggaran yang meluas di penjara-penjara Israel.
Termasuk penyiksaan, pelecehan seksual, kelaparan, penolakan perawatan medis, kebersihan yang buruk, dan isolasi yang berkepanjangan.
Setidaknya 78 tahanan telah meninggal dalam kondisi ini dalam dua tahun terakhir.
Bahkan sesaat sebelum dibebaskan, beberapa tahanan menghadapi penganiayaan, yang menyoroti penderitaan yang berkelanjutan dan penggunaan tahanan sebagai alat pembalasan.
Aktivis hak tahanan memperkirakan upaya untuk memperbaiki kondisi akan terus berlanjut, karena para tahanan berencana untuk melawan pelanggaran yang terus berlanjut meskipun ada gencatan senjata.
Mila