Jakarta -
Harga BBM di dalam negeri bisa naik apabila konflik Israel dan Iran terus memanas. Dua negara Timur Tengah itu sedang saling serang dan menimbulkan ketidakpastian pada pasar minyak mentah dunia.
Banyak pihak memprediksi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri bakal naik apabila hingga akhir bulan ini konflik terus menerus memanas dan bahkan eskalasinya meluas ke beberapa negara lain yang jadi sekutu Iran maupun Israel.
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkapkan harga BBM non subsidi menjadi yang paling cepat mengalami kenaikan. Sebab, BBM jenis ini dijual mengikuti pergerakan pasar. Bila harga minyak dunia terus menguat bukan tidak mungkin Pertamax Cs bakal mengalami kenaikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk harga BBM non-subsidi, seperti Pertamax itu selama ini kan sudah diserahkan pada mekanisme pasar gitu, pada saat harga minyak mentahnya sudah naik, ya pasti dia akan menaikkan," sebut Fahmy kepada detikcom, Selasa (17/6/2025).
Untuk BBM subsidi, semacam Pertalite, dia menilai jangan buru-buru dinaikkan harganya. Sebab, hal itu jelas akan menaikkan inflasi dan menekan daya beli di tengah masyarakat.
Fahmy menjelaskan selama harga minyak mentah dunia masih berada di bawah US$ 100 per barel sebisa mungkin pemerintah menahan harga BBM subsidi. Namun apabila sudah lebih dari US$ 100 per barel, mau tak mau harga BBM subsidi dinaikkan agar APBN tak terbebani.
"Tapi kalau misalnya harga masih di bawah US$ 100 per barel maka menurut saya ya dipertahankan harga BBM subsidi tidak usah naik. Setelah diatas US$ 100, maka pemerintah nggak punya pilihan lain kecuali mereka harga BBM subsidi," sebut Fahmy.
Di sisi lain, Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan sejauh ini harga minyak masih di rentang US$ 73-75 per barel. Menurutnya, jumlah itu masih jauh di bawah rentang harga minyak asumsi makro dalam APBN 2025 yang ditetapkan sebesar US$ 82 per barel.
Dia menilai selama harga minyak mentah masih di bawah US$ 82 per barel pemerintah tak perlu menaikkan harga BBM subsidi. Namun, kalau harga minyak sudah lebih US$ 82 per barel, meskipun masih di bawah US$ 100 per barel, maka sudah saatnya kenaikan harga BBM subsidi diberlakukan.
"Selama harga minyak ini tidak mengalami peningkatan signifikan atau dalam hal ini mengalami peningkatan di atas US$ 82 per barel maka saya kira pemerintah belum perlu melakukan penyesuaian harga BBM karena kondisi subsidi masih mengacu pada asumsi makro yang ditetapkan pada APBN," papar Rendy ketika dihubungi detikcom.
Saran ke Pemerintah
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menekankan efek ke APBN bisa sangat besar apabila subsidi BBM meningkat di tengah penerimaan negara yang seret. Dia menegaskan hal ini harus jadi perhatian khusus dari pemerintah.
"APBN efeknya adalah kalau subsidi-nya terlalu melebar ya ini bisa membuat defisit APBN-nya juga makin meningkat di tengah penerimaan negara itu mengalami tekanan jadi situasi ini memang harus terus dimonitor oleh pemerintah dan disiapkan berbagai langkah mitigasi-mitigasinya," beber Bhima kepada detikcom.
Pemerintah harus mulai memitigasi masalah ini, secara politik anggaran harus ada revisi dari APBN karena kenaikan harga minyak mentah sangat fluktuatif dan akan mempengaruhi postur kebijakan dari APBN untuk berbagai pos anggaran.
Lebih lanjut, pemerintah harus menyiapkan strategi untuk mitigasi apabila kenaikan harga BBM subsidi bisa mempengaruhi kenaikan angka kemiskinan. Salah satunya adalah dengan memberikan tambahan bantuan sosial.
"Dan pemerintah juga harus menyiapkan tambahan bansos, tambahan perlindungan sosial pada masyarakat rentan dan masyarakat miskin itu yang harus diantisipasi," lanjut Bhima.
Penghematan penggunaan BBM subsidi juga bisa didorong dengan pengurangan konsumsi BBM subsidi lewat ajakan kepada masyarakat naik angkutan umum.
(hal/kil)