REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA – Keluarga Besar Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, menyampaikan keberatan keras atas tayangan program “Xpose Uncensored” Trans7 yang ditayangkan pada 13 Oktober 2025.
Melalui surat resmi bernomor 194.SPn/SEKRE/PPC/X/2025 yang ditujukan kepada Pimpinan dan Direksi Trans7, pihak pesantren menilai tayangan tersebut melakukan framing negatif terhadap pesantren dan ulama.
Surat keberatan tersebut ditandatangani Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung, KH Ubaidillah Ruhiyat pada 14 Oktober 2025.
Dalam surat itu, Pesantren Cipasung menilai tayangan investigasi yang membahas isu oknum penyimpangan agama justru menampilkan cuplikan rumah almarhum KH A Bunyamin Ruhiyat.
“Tayangan tersebut tidak hanya menyudutkan kehidupan pesantren dan kiai, tetapi juga menampilkan cuplikan rumah almarhum KH A Bunyamin Ruhiyat Pimpinan Pesantren Cipasung masa khidmah 2012–2022, dengan tanpa izin, disertai narasi yang merendahkan martabat ulama,” tulis pihak pesantren dalam suratnya dan telah dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (15/10/2025).
Pihak pesantren juga menilai momentum penayangan program itu tidak etis karena bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional (22 Oktober) yang seharusnya menjadi ajang penghormatan terhadap para santri dan ulama.
"Ironisnya, hal ini muncul menjelang peringatan Hari Santri Nasional (22 Oktober) momentum penghormatan bagi para santri dan pejuang bangsa. Sehingga sangat mengusik hati umat dan melukai perasaan keluarga besar pesantren di seluruh Indonesia," demikian isi surat itu.
Dalam surat tersebut, Pesantren Cipasung menilai program Xpose Uncensored Trans7 telah melanggar beberapa ketentuan hukum, di antaranya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat (5) tentang larangan siaran yang menimbulkan keresahan atau menyinggung nilai agama.
Selain itu, Trans7 juga dinilai melanggar UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana diubah dalam UU No. 19 Tahun 2016, Pasal 28 ayat (2) tentang larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan SARA.
Tidak hanya itu, pihak pesantren juga menilai stasiun televisi nasional tersebut juga melanggar Kode Etik Jurnalistik, Pasal 3 dan 4, tentang kewajiban menjaga objektivitas serta larangan membuat berita yang beritikad buruk.
Atas dasar keberatan tersebut, pihak pesantren mengajukan empat tuntutan resmi kepada Trans7:
1. Permintaan maaf resmi dan terbuka melalui tayangan televisi dan media digital
2. Penghapusan seluruh cuplikan bermasalah dari semua platform
3. Pemberian hak jawab dan klarifikasi kepada pihak pesantren dan keluarga almarhum
4. Komitmen menjaga keutuhan bangsa serta menghormati nilai, budaya, dan tradisi pesantren sebagai bagian dari moral Indonesia.
Pesantren Cipasung juga mengimbau seluruh media nasional agar lebih berhati-hati dalam menayangkan program jurnalistik.
“Demikian surat ini kami sampaikan dengan harapan agar media nasional lebih berhati-hati, beretika, dan berperan menjaga persatuan bangsa dengan menghargai keberagaman nilai yang hidup di tengah masyarakat,” tegas pihak pesantren menutup surat itu.