Persatuan Indonesia Dipersoalkan Sulut Emosi Latuharhary

4 hours ago 2
Hendrikus Colijn mempersoalkan persatuan Indonesia pada 1928 bahwa Maluku berbeda dengan Jawa. Pada 1932 Latuharhary memberikan tanggapan bahwa Maluku harus menjadi bagian dari Indonesia, perjuangkan Indonesia merdeka. Sumber: buku mr. johanes latuharhary, hasil karya dan pengabdiannya

“Hindia Belanda tidak diragukan lagi merupakan entitas politik, tetapi hanya otoritas Belanda yang telah menjadikannya demikian,” tulis Hendrikus Colijn pada Juni 1928. Menurut dia, ide persatuan Indonesia yang digaungkan kaum pergerakan Indonesia hanyalah fatamorgana.

“Jika kita tidak ada di sana, yang ada hanyalah sekelompok suku yang tidak koheren dengan karakter yang beragam, bahasa yang berbeda, dan tingkat budaya yang sama sekali berbeda,” lanjut dia. Istilah Indonesia yang digunakan untuk menggantikan Hindia Belanda, menurut dia hanyalah konsep geografis, tidak akan sampai pada konsep politik.

“Jawa tetaplah sangat berbeda dari Sumatra, dan keduanya, pada gilirannya, sangat berbeda dari Sulawesi dan Maluku,” tegas dia. Hal ini dikemudian hari membuat J Latuharhary, pemuda Maluku pertama yang meraih gelar sarjana hukum di Belanda, memberikan reaksi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Colijn telah bekerja selama 19 tahun dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ia pulang ke Belanda pada 1909, tapi pernah berkunjung lagi ke Hindia Belanda pada 1913 dan 1915.

Bukunya, Koloniale Vraagstukken van Heden en Morgen (Isu-isu Kolonial Hari Ini dan Esok) yang terbit pada 1928, ia beri kata pengantar tertanggal Juni 1928, saat persiapan Kongres pemuda Indonesia II sedang mandek. Kongres Pemuda Indonesia I yang diadakan pada April-Mei 1926 menggelorakan pula persatuan Indonesia, dan perlu dilanjutkan pada Kongres Pemuda Indonesia II karena kongres pertama tidak menghasilkan keputusan.

Ia menyebut kalangan pemuda Indonesia telah sampai pada semangat memerangi imperialism Barat, dalam hal ini Belanda. persatuan Indonesia yang digaungkan untuk memerangi otoritas Belanda ia sebut sebagai “hampa dari semua realitas”.

“Realitas itu adalah tidak adanya kesatuan kesadaran rakyat, meskipun beberapa organisasi yang disebut ‘pemuda’ baru-baru ini mencoba menumbuhkan semacam kesadaran Indonesia secara artifisial,” kata Colijn.

Untuk menumbuhkan persatuan Indonesia itu, pada Kongres Pemuda Indonesia I didorong lahirnya organisasi fusi, yang menyatukan berbagai organisasi pemuda kedaerahan menjadi organisasi pemuda keindonesiaan. Namun, gagal.

Di Kongres Pemuda Indonesia II, rencana fusi juga belum berhasil, karena para pemuda dari masing-masing organisasi yang hadir harus membicarakannya di organisasi masing-masing. Namun, di kongres ini, semangat persatuan itu sudah menguat dengan tervetusnya Sumpah Pemuda.

Fusi kemudian terjadi pada 1930, meski Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sarekat Ambon tidak bersedia berfusi. JIB tidak bersedia fusi dengan alasan kelahiran JIB pada 1925 adalah kritik terhadap maraknya organisasi pemuda kedaerahan yangbergantung di awang-awangn berlagak kebarat-baratan.

Sarekat Ambon punya alasan lain. Setuju dengan persatuan Indonesia, tapi Sarekat Ambon tak ingin keberadaan organisasi kedaerahan dihalang-halangi.

“Masih terdapat begitu banyak perbedaan dalam pembangunan, karakteristik budaya, dan kehidupan ekonomi di antara berbagai wilayah Indonesia yang luas,” tulis majalah Haloean, organ Sarekat Ambon yang dipimpin Latuharhary.

Sarekat Ambon ingin tetap eksis sebagai organisasi kedaerahan demi mendukung pembangunan Ambon agar tidak dikuasasi oleh Belanda. Pendidikan yangd iadakan Belandai di Maluku telah membuat orang-orang terbaik di Maluku diambil oleh Belanda.

Kekayaan Maluku juga diambil oleh Belanda. Maluku lantas dibuat tetap miskin.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |