REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mubasyier Fatah (Bendahara Umum Pimpinan Pisat Ikatan Sarjanq Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Entrepreuner Teknologi Informasi dan Praktisi Keamanan Siber)
Dunia Digital Kehilangan Kompas Moral
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Kecerdasan buatan (AI), big data, dan sistem siber kini menjadi tulang punggung peradaban modern. Hampir seluruh aktivitas manusia—dari bekerja, belajar, hingga beribadah—terhubung dalam sistem digital. Namun di balik kemajuan itu, dunia menghadapi krisis yang tidak kalah serius: krisis moral dan spiritual.
Pertanyaannya kini bukan lagi seberapa pintar mesin dapat berpikir, melainkan siapa yang bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat algoritma.
Menurut laporan Stanford AI Index 2025, lebih dari 52 persen keputusan korporasi besar di dunia kini melibatkan sistem AI dalam proses bisnis dan rekrutmen. Sementara UNESCO (2024) memperingatkan bahwa sebagian besar negara belum memiliki kerangka etika yang mampu mengimbangi kecepatan inovasi digital.
Regulasi global seperti EU AI Act memang berupaya memberi batasan, namun pendekatannya masih teknokratik: fokus pada keamanan data, transparansi, dan tanggung jawab hukum. Sisi moral dan spiritual manusia jarang disentuh.
Dalam konteks inilah, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki potensi besar untuk menjadi suara moral dunia digital — menghadirkan kerangka etika keimanan (faith ethics) bagi masa depan peradaban siber.
Dari Islam Nusantara ke Faith Ethics Kontemporer
Selama lebih dari satu abad, NU dikenal sebagai pelopor moderasi dan nasionalisme religius. Melalui konsep Islam Nusantara dan Fikih Kebangsaan, NU menegaskan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukan dua hal yang bertentangan, melainkan saling menguatkan.
Kini, di abad ke-21, tantangan baru muncul. Dunia tidak lagi terbagi atas batas geografis, melainkan atas akses digital dan kesenjangan algoritmik.
Laporan We Are Social 2025 mencatat, lebih dari 224 juta warga Indonesia aktif di internet, tetapi hanya 35 persen yang memiliki literasi digital menengah ke atas. Artinya, mayoritas masyarakat berada di ruang digital tanpa bekal moral dan pengetahuan yang memadai.
Situasi ini melahirkan pertanyaan mendasar: Bagaimana nilai iman dan etika Islam dapat memberi arah di tengah dunia yang dikendalikan oleh logika data?
Jawabannya bisa muncul melalui gagasan Contemporary Faith Ethics — kerangka berpikir yang menempatkan nilai-nilai keimanan sebagai panduan moral menghadapi disrupsi teknologi. Etika keimanan ini mengajarkan bahwa teknologi bukan untuk menandingi Tuhan, melainkan untuk meneguhkan kemanusiaan.
Through Contemporary Faith Ethics, Nahdlatul Ulama contributes moral frameworks — bringing spiritual wisdom to guide artificial intelligence and digital governance.
Etika keimanan, dengan demikian, bukan nostalgia masa lalu, melainkan kompas moral masa depan.
Cybersecurity dan Moralitas Data
Ancaman digital dewasa ini bukan sekadar peretasan sistem, melainkan krisis tanggung jawab.
Menurut data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN, 2025), Indonesia mengalami lebih dari 403 juta serangan siber sepanjang tahun 2024, meningkat 25 persen dari tahun sebelumnya. Ironisnya, 40 persen di antaranya menargetkan sektor publik yang menyimpan data pribadi warga.
Masalah utamanya bukan hanya lemahnya keamanan, tetapi hilangnya etika dalam mengelola data. Data warga dijadikan komoditas politik dan ekonomi; informasi pribadi dijual tanpa izin; dan algoritma menentukan nasib seseorang tanpa empati.
Nilai-nilai NU seperti amanah (kepercayaan), maslahah (kemanfaatan), dan ‘adl (keadilan) sangat relevan untuk membangun moralitas data: bahwa setiap informasi adalah amanah, setiap akses adalah tanggung jawab, dan setiap inovasi harus berpihak pada kemaslahatan manusia.
Dengan kerangka Contemporary Faith Ethics, keamanan siber tidak hanya berarti melindungi sistem, tetapi juga menjaga martabat manusia di dunia digital.
Faith-Based AI Ethics: Menanamkan Nurani pada Mesin
AI kini mengatur hampir semua aspek hidup manusia — dari perbankan, pendidikan, hingga kesehatan. Namun AI tidak memiliki nurani; ia memutuskan berdasarkan data, bukan empati.
Data dari PwC Global AI Study (2024) menunjukkan, AI berpotensi menambah nilai ekonomi global hingga 15,7 triliun dolar AS pada 2030. Namun, di sisi lain, 30 persen populasi dunia terancam kehilangan pekerjaan karena otomatisasi.
Kemajuan ini memunculkan dilema moral: bagaimana menjaga agar AI tetap berpihak pada manusia?
NU, dengan tradisi ijtihad dan fikih sosial, memiliki modal epistemik untuk membangun kerangka Faith-Based AI Ethics — etika berbasis iman yang menuntun arah kecerdasan buatan.
Nilai-nilai seperti niyyah (niat moral), amanah (kejujuran), dan rahmah (kasih sayang) dapat dijadikan moral code bagi teknologi masa depan.
AI yang berlandaskan nilai iman tidak bertujuan menggantikan manusia, tetapi memperluas kapasitas kemanusiaan. Ia bukan sekadar smart, tetapi juga wise.
Spiritual Nationhood dan Digital Civilization
Para ulama NU sejak awal telah memperjuangkan konsep negara bangsa (nation-state) yang berakar pada nilai moral.
Kini, konsep itu dapat berkembang menjadi Spiritual Nationhood — negara bangsa yang menggabungkan teknologi dan etika spiritual.
Indonesia sendiri memiliki peluang besar. Menurut World Bank Digital Report 2024, ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai USD 130 miliar pada 2025, terbesar di Asia Tenggara. Namun tanpa panduan etika, pertumbuhan itu bisa membawa ketimpangan sosial dan eksploitasi data.
NU dapat berperan penting di sini. Sebagai organisasi keagamaan dengan jaringan pendidikan dan sosial terluas di Indonesia, NU memiliki kekuatan untuk membumikan nilai moral dalam kebijakan digital nasional.
Seperti dulu NU membumikan nasionalisme religius, kini saatnya NU membumikan digital humanism — kemanusiaan dalam dunia siber.
NU sebagai Penjaga Etika Peradaban
Dalam situasi global yang penuh kegelisahan moral, NU berpotensi menjadi moral voice of the Global South.
Kekuatan NU bukan pada kekuasaan politik, melainkan pada kearifan spiritual yang menyeimbangkan kemajuan teknologi dan nilai kemanusiaan.
Indonesia’s largest Muslim organization is not only preserving tradition — it is coding the ethics of the future.
NU dapat mengajarkan dunia bahwa kemajuan tidak berarti meninggalkan nilai. Bahwa teknologi tanpa moralitas hanyalah mesin tanpa arah. Melalui Contemporary Faith Ethics, NU membawa pesan universal: bahwa iman dan inovasi dapat berjalan seiring untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi.
Etika NU dan Kemanusiaan Global
Etika keimanan yang ditawarkan NU tidak hanya untuk umat Islam, melainkan untuk seluruh manusia. Dalam dunia yang terfragmentasi oleh ideologi dan algoritma, NU mengajarkan tiga prinsip universal:
Pertama, keterhubungan spiritual — manusia, alam, dan mesin harus hidup dalam harmoni ciptaan Tuhan. Kedua, keadilan digital — akses terhadap teknologi harus adil dan berpihak pada kesejahteraan bersama. Ketiga, kasih sayang universal — setiap inovasi harus berakar pada nilai rahmah, bukan keserakahan.
Prinsip-prinsip ini dapat menjadi jembatan antara spiritualitas dan sains, antara pesantren dan silikon valley, antara agama dan masa depan.
Penutup: Dari Cybersecurity ke Cyber-Sincerity
Di masa depan, dunia tidak akan kekurangan teknologi, tetapi akan kekurangan moralitas. Manusia akan semakin pintar, namun bisa jadi semakin kehilangan empati.
Nahdlatul Ulama, dengan spiritualitasnya yang membumi, dapat menjadi pelita bagi peradaban digital — mengingatkan bahwa inovasi tanpa nilai hanyalah kekosongan yang canggih.
Kita memerlukan bukan hanya cybersecurity, tetapi juga cyber-sincerity — kejujuran moral, ketulusan spiritual, dan keberanian untuk menempatkan manusia di pusat kemajuan teknologi.
Era ini membutuhkan bukan hanya ilmuwan, tetapi juga pemimpin yang memiliki kebijaksanaan batin. Dan di titik ini, Nahdlatul Ulama berpeluang besar menjadi penuntun arah baru: bukan sekadar penjaga tradisi, tetapi arsitek moral bagi masa depan digital.
.png)
3 hours ago
1














































