Sidang Eksaminasi FH UII Ungkap Dugaan Kesalahan Hakim dalam Perkara Tom Lembong

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan hasil Sidang Eksaminasi Publik putusan perkara tindak pidana korupsi Nomor: 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas nama terdakwa Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), pada Sabtu (11/10/2025) lalu. Kegiatan ini bertujuan untuk memaparkan hasil temuan dan kesimpulan eksaminasi publik yang disampaikan oleh enam dosen Fakultas Hukum UII.

Enam ahli hukum tersebut terdiri dari Prof Dr Rusli Muhammad, SH, MH, Prof Dr Ridwan, SH, MHum, Prof. Hanafi Amrani, SH, MH LLM, PhD, Dr. Muhammad Arif Setiawan, SH, MH, Dr Marisa Kurnianingsih, SH, MH, MKn, Wahyu Priyanka Nata Permana, SH, MH, dan Ari Wibowo, SHI, SH, MH.

Dr Muhammad Arif Setiawan, SH, sebagai juru bicara eksaminator membacakan ringkasan dari catatan panitia selama sidang eksaminasi. Berdasarkan hasil sidang, disimpulkan bahwa terdapat miscarriage of justice atau kekeliruan dalam mempertimbangkan Majelis Hakim dengan alasan-alasan berikut: 

Pertama, seluruh proses hukum, mulai dari penyidikan hingga putusan, dinilai keliru karena menjadikan pelanggaran hukum administrasi sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

“Bahwa Majelis Hakim telah mengabaikan adanya asas lex specialis sistematis,” ungkapnya.

Kedua, Majelis Hakim juga dianggap mengabaikan keberlakuan undang-undang Nomor 1 tentang Perubahan atas Undang-undang Badan Usaha Milik Negara ketika mempertimbangkan kerugian yang dialami oleh PT PPI, yang pada dasarnya merupakan BUMN. Berdasarkan Pasal 4B dalam undang-undang tersebut, kerugian BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara.

“Dengan demikian, unsur kerugian keuangan negara dalam perkara ini seharusnya dinyatakan tidak terbukti. Selain itu, terdapat kekeliruan dalam perhitungan besaran kerugian karena adanya perbedaan antara harga HPP di tingkat petani dengan harga dalam proses bisnis PT PPI, sehingga selisih perhitungan tersebut tidak dapat dijadikan dasar penentuan kerugian negara,” ujarnya.

Ketiga, baik Jaksa Penuntut Umum maupun Majelis Hakim tidak mempertimbangkan sama sekali adanya mens rea dalam diri terdakwa dengan alasan sebenarnya tidak terdapat bukti bahwa terdakwa memiliki niat jahat dalam mengambil keputusan izin impor gula, tidak memperoleh keuntungan pribadi, dan tidak pernah meminta imbalan dari pihak swasta maupun BUMN yang terlibat.

Keempat tidak terdapat bukti atau fakta hukum oleh para hakim eksaminasi dinyatakan telah memenuhi pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penyertaan karena tidak terdapat fakta hukum adanya meeting of men dan double intention. Di mana fakta hukumnya terdakwa pernah bertemu dan bersepakat dengan pelaku.

“Terdakwa tidak pernah bertemu maupun memiliki kesepahaman dengan para pelaku lain untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Tipikor,” ucapnya.

Kelima, terdapat kesalahan pertimbangan Majelis Hakim Tipikor yang membuktikan adanya kesalahan dalam bentuk kesenjangan yang tidak perlu pembuktian hubungan psikis pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Hakim eksaminator menilai semestinya harus dibuktikan mengingat dalam pandangan memori fantolektik syarat adanya kesenjangan ada dua, yaitu terdakwa mengetahui dan memahami weapon and villain.

Terkait dengan keputusan abolisi dalam kasus ini, Muhammad Arif Setiawan berpendapat bahwa seharusnya perkara ini sudah dihentikan proses hukumnya. Meskipun terdakwa sempat mengajukan banding, namun adanya abolisi ini sudah selesai perkara ini.

“Kalau tanggapan saya tidak perlu ada upaya hukum lagi. Ya dianggap tidak pernah ada perkara, kan sudah ada putusan. Itu artinya keputusan Tom Lembong bersalah belum ada kepastian,” ujarnya.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |