QRIS Mulai Geser Transaksi Tunai, Siapkah Kita Dengan Digitalisasi?

5 hours ago 2

Image Fasabira Syeba

Bisnis | 2025-10-19 23:01:06

source : freepik.com

"Lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan HP."

Ungkapan yang tidak asing di telinga kita. Di era yang serba digital, penggunaan dompet perlahan terganti oleh layar ponsel yang bisa mengakomodasi hampir semua kebutuhan pembayaran. Cukup mengarahkan layar pada kode QR dan boom! transaksi selesai. Fenomena ini bukan hanya terjadi di kafe modern atau pusat perbelanjaan, tetapi sudah menjalar dari pedagang kaki lima, toko kelontong, parkiran, kantin sekolah, hingga pasar tradisional. Tren tersebut menjadi penanda perubahan besar dalam kebiasaan masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal transaksi pembayaran.

Quick Response Code Indonesian Standard atau lebih dikenal dengan QRIS adalah salah satu teknologi hebat ciptaan anak bangsa. Pernah meraih penghargaan Qorus Reinvention Awards Asia Pacific 2023 dalam kategori “Operational Efficiency” mengalahkan Jepang dan China, ini semakin menjelaskan bahwa QRIS berperan dalam meningkatkan efisiensi transaksi pembayaran dan dengan pelan tapi pasti mulai menggeser peran transaksi tunai di banyak lini kehidupan.

Menurut laporan Bank Indonesia (Agustus, 2025) tercatat jumlah pengguna QRIS telah menembus lebih dari 57 juta pengguna dengan growth 13% lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut disertai dengan naiknya volume transaksi mencapai 146% dengan total transaksi lebih dari Rp. 6 miliar. Sementara itu, basis merchant QRIS juga terus berkembang. Hingga kini tercatat lebih dari 39 juta usaha, di mana 93% diantaranya merupakan pelaku UMKM dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2026. Angka ini memperlihatkan betapa cepatnya adopsi QRIS meluas di berbagai sektor ekonomi masyarakat.

Seolah tak cukup, Bank Indonesia terus menghadirkan inovasi terbaru, seperti QRIS Tuntas yang memungkinkan transfer, setor tunai, dan tarik tunai hanya dengan satu kode QR, lalu ada QRIS TAP yang berbasis Near Field Communication (NFC), QRIS Tanpa Tatap Muka (TTM), dan inovasi skala Internasional seperti QRIS Antarnegara yang telah bekerja sama dengan beberapa negara Asia. Langkah ini bukan sekadar mempermudah konsumen, tetapi juga memperkuat ekosistem digitalisasi keuangan di Indonesia bahkan Internasional.

Kemudahan ini jelas mendukung agenda digitalisasi nasional. Dari membeli kopi, membayar ongkos parkir, hingga melunasi biaya pendidikan, QRIS semakin melekat dalam rutinitas masyarakat. Dalam wawancara media kompas, Santi (30) seorang pedagang kecil di daerah Jakarta mengaku terbantu dengan adanya inovasi tersebut. “Sangat terbantu sekali, karena lebih mudah dan buat pembeli sendiri nggak repot bawa uang cash.” ungkapnya.

Bagi pedagang, QRIS memberi sejumlah keuntungan, seperti tidak perlu repot mencari uang kembalian, meminimalisir adanya fraud dan resiko uang palsu. Sementara bagi pembeli, cukup dengan satu “scan”, pembayaran selesai dalam hitungan detik. Namun, masih ada beberapa pedagang nakal yang sengaja menaikkan harga makanan untuk menghindari biaya Merchant Discount Rate (MDR) sehingga beban biaya sepenuhnya ditanggung oleh pembeli.

Seperti yang dikeluhkan oleh akun X (@sunannscima), dalam tweetnya ia mengeluhkan biaya admin QRIS sebesar Rp. 500. “STOP NORMALIZING ADMIN QRIS 500 PERAK ARGHHHH SEBEL” keluhnya. Tweet tersebut kini telah memiliki lebih dari 2,2 juta tayangan dan mengundang komentar netizen sebanyak 1 ribu orang.

Namun dibalik biaya MDR yang dianggap membebankan baik pembeli dan pedagang, muncul fenomena baru di masyarakat buntut dari keberhasilan QRIS, yakni sebagian pedagang mulai menghapus pembayaran tunai dan hanya menerima pembayaran dengan QRIS. Hal ini menuai banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Siapkah Kita Dengan Digitalisasi?

Bagi masyarakat pro, QRIS dianggap sebagai jalan atau gerbang awal terhadap digitalisasi ekonomi dan mempercepat target BI merealisasikan cashless society. Cepat atau lambat jangkauan transaksi digital akan semakin meluas dan mau tidak mau masyarakat dituntut untuk lebih adaptif dan melek teknologi. Di sisi lain, masyarakat kontra berpendapat bahwa pemilihan QRIS sebagai opsi tunggal saat pembayaran dianggap membatasi pelanggan. Belum lagi masyarakat golongan lansia, pekerja harian dengan pendapatan tunai, juga warga dengan daerah tak terjangkau sinyal dianggap belum siap terhadap perubahan ini, sehingga menimbulkan kesenjangan dan diskriminasi dalam ekonomi.

Seperti yang diungkapkan pemilik akun X (@iggunnee), ia mengatakan “Isu gua sama QRIS itu satu doang sebenarnya. Kenapa adanya QRIS malah ngilangin pembayaran cash sebel juga kalo semua merchant cuma mau cashless Harusnya jadi opsi bukan eliminasi.” ungkapnya. Tweetnya mengundang lebih dari 140 komentar yang mengungkapkan keresahan yang sama.

Perlu kita ingat, uang tunai masih menjadi alat pembayaran yang sah berlaku di Indonesia. Seperti yang tertera pada UU no.7 tahun 2011 tentang Mata Uang.

Pasal 23 ayat (1), berbunyi: "Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah."

Dengan kata lain, pihak (pedagang) yang menolak pembayaran dengan Rupiah dapat dipidanakan sesuai UU yang berlaku. Pemerintah dan BI terus menghimbau agar penggunaan QRIS hanya dijadikan sebagai opsi dan bukan pengganti.

Walau QRIS sudah semakin menjamur, Tunai tetap menjadi jaring pengaman dalam bertransaksi. Solusinya, bisa dengan mengadaptasi sistem transaksi hybrid, dimana digital dan tunai dapat berjalan berdampingan. Menambahkan sistem transaksi lain seperti debit dan kredit dalam opsi pembayaran juga akan membuat transaksi menjadi lebih mudah dan beragam.

Digitalisasi memang bukan hal yang bisa dihindari. Kedepannya tidak hanya QRIS yang akan berkembang pesat tapi juga sistem-sistem lain. Namun, inklusi tetap menjadi kata kunci. Pemerintah dan penyedia layanan keuangan perlu mengatasi tantangan teknis, dan memperkuat literasi digital agar sistem ini berfungsi optimal. Semua lapisan masyarakat diharapkan dapat ikut serta dan merasakan dampaknya tanpa harus ada yang merasa tertinggal.

Dengan demikian, fenomena bergesernya transaksi tunai menjadi transaksi dengan metode QRIS, seharusnya tidak dipandang semata-mata sebagai hal negatif yang dapat menggantikan penggunaan tunai, melainkan sebagai bagian dari adaptasi kita terhadap digitalisasi untuk menuju transaksi yang efisien, aman, transparan, dan inklusif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |