REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN — Samudra Selatan yang selama lebih dari satu abad menyerap panas dan karbon dioksida dari aktivitas manusia, suatu saat dapat melepaskan kembali panas tersebut dan memicu gelombang pemanasan global kedua. Temuan ini diungkap para ilmuwan dari GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research, Jerman, dalam studi terbaru yang dipublikasikan Senin (27/10/2025).
Peneliti memprediksi bahwa ketika manusia berhenti menggunakan bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca turun drastis, Samudra Selatan akan melepaskan simpanan panas yang selama ini “terperangkap” di laut dalam. Pelepasan panas besar-besaran itu dapat menyebabkan peningkatan suhu global selama sedikitnya satu abad.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.“Kami menemukan setelah beberapa abad pendinginan global akibat emisi karbon dioksida negatif, terjadi pemanasan atmosfer global yang tidak berkaitan langsung dengan emisi karbon dioksida, melainkan disebabkan pelepasan panas dari samudra,” jelas tim yang dipimpin ahli biogeokimia Ivy Frenger, dikutip dari Science Alert.
“Tingkat pemanasan ini sebanding dengan laju rata-rata pemanasan akibat aktivitas manusia di masa lalu dan berlangsung lebih dari satu abad,” tambahnya.
Penelitian ini menggunakan model iklim yang menggabungkan data keseimbangan energi, kelembapan atmosfer, sirkulasi laut, es laut, serta proses biokimia di laut dan daratan. Model tersebut mensimulasikan skenario ketika emisi karbon dioksida terus meningkat hingga dua kali lipat dari kondisi saat ini dalam 70 tahun ke depan, kemudian menurun tajam hingga dunia memasuki fase emisi negatif selama beberapa abad.
Dalam periode pemanasan global, panas akan terus terakumulasi di laut dalam. Ketika proses alami seperti arus naik (upwelling) di Samudra Selatan melemah, laut menjadi penyimpan panas yang efektif.
Bahkan setelah kadar karbon dioksida menurun, laut masih menyerap panas karena suhu udara di permukaan bumi turun lebih lambat, sementara pencairan es laut meningkatkan penyerapan radiasi matahari.
Penelitian menunjukkan bahwa saat panas ini akhirnya dilepaskan, efek pemanasan tidak akan merata. Dampak terbesar akan dirasakan di belahan bumi selatan, termasuk negara-negara berkembang yang lebih rentan terhadap perubahan iklim.
Para peneliti mengakui model yang digunakan masih idealistik, namun simulasi serupa dengan model lain menghasilkan hasil yang hampir sama. Temuan ini menantang asumsi umum bahwa total emisi karbon dioksida selalu berbanding lurus dengan tingkat pemanasan global, asumsi yang menjadi dasar banyak kebijakan iklim dunia.
Implikasinya, efek positif dari penurunan emisi mungkin tidak segera terasa. Dunia berpotensi tetap mengalami kenaikan suhu selama berabad-abad setelah penggunaan bahan bakar fosil dihentikan.
Menurut penelitian tersebut, semakin lama transisi menuju energi bersih ditunda, semakin besar pula panas yang tersimpan di Samudra Selatan dan akan semakin kuat “pantulan balik” pemanasan yang dapat terjadi di masa depan.
.png)
3 hours ago
2












































