Logo Itu Lahir dari Bekal di Pesantren: Perjalanan Santri Diyan Rizqianto ke Harapan Besar

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di balik sebuah logo yang kini berkibar di puluhan sekolah di seluruh Indonesia, tersimpan kisah yang sederhana sekaligus menggetarkan. Logo itu berbentuk pita menjulang—seperti sayap garuda yang hendak terbang menembus awan.

Tak banyak yang tahu, simbol kebanggaan itu lahir bukan dari studio desain megah di ibu kota, melainkan dari ruang sempit di sebuah desa di Kediri, di mana seorang santri bernama Diyan Rizqianto mengguratkan mimpinya di atas layar laptop yang nyaris aus.

Di Desa Grogol, Kabupaten Kediri, siang dan malam sering bercampur di balik cahaya redup layar komputer. Diyan duduk menatap bentuk demi bentuk, garis demi garis, seolah sedang menenun doa ke dalam setiap lengkung desainnya.

Tak ada mentor, tak ada kursus berbayar—hanya keinginan kuat untuk membuat sesuatu yang indah dan bermakna. Dari ruangan kecil di kampung, ia melahirkan karya yang kini menjadi lambang dari Sekolah Garuda, sebuah program pendidikan nasional yang bertujuan membentuk karakter, literasi, dan daya saing pelajar menuju Indonesia Emas 2045.

Perjalanan Diyan bermula delapan tahun silam, saat masa pengabdiannya sebagai alumni Pondok Modern Darussalam Gontor di Lampung. Ia ditempatkan di koperasi pondok yang kala itu sunyi dan baru berdiri.

Komputer di ruangan itu awalnya hanya alat pencatat keuangan. Namun, bagi Diyan, mesin itu adalah jendela ke dunia yang lebih luas. Dengan rasa ingin tahu, ia menginstal CorelDraw dan Photoshop, menonton video tutorial di YouTube, dan mencoba menggambar ulang tulisan-tulisan sederhana. Dari percobaan itulah, lahir semangat baru yang tak pernah padam.

Ia belajar bukan untuk mengejar gelar, melainkan karena cintanya pada keindahan. Saat teman-temannya sibuk dengan administrasi pondok, Diyan sibuk menata huruf dan warna.

Setiap malam, ia merasakan getar halus di ujung jarinya—getar yang membuatnya yakin bahwa desain bukan sekadar gambar, tapi bahasa yang mampu berbicara tanpa suara. “Saya suka melihat sesuatu berubah jadi indah,” katanya lirih, suatu kali. Dari titik itulah, seorang santri mulai belajar berbahasa dengan bentuk.

sumber : Antara

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |