Kontradiksi Netanyahu: Satu Tangan Israel Pegang Senjata, Tangan Lainnya Ulurkan Perdamaian

4 hours ago 2

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam panggung politik Israel yang tak pernah stabil, Benjamin Netanyahu berdiri bagai seorang pesulap tua yang terampil memainkan dua kartu sekaligus. Pertama kartu militer untuk melanjutkan genosida. Kedua adalah kartu gencatan senjata dan perdamaian.

Dengan bangga ekstremis ini menunjukkan kebanggaan karena militer Israel menjatuhkan 153 ton (337.307 pon) bom ke sasaran di Gaza sebagai tanggapan atas apa yang dikatakannya sebagai pelanggaran gencatan senjata oleh kelompok Palestina Hamas. Hal itu dia sampaikan kepada Knesset pada hari Senin (20/10/2025).

"Satu tangan kita memegang senjata, tangan lainnya terulur untuk perdamaian," ujar Netanyahu kepada anggota Knesset.

Kontradiksi ini bukan lagi sekadar strategi politik, melainkan cermin dari realitas kompleks yang dihadapi Negeri Zionis itu sendiri. Di tengah desing peluru dan ledakan di Gaza, politisi ekstrem ini justru membuka ruang dialog dengan Palestina—sebuah kontradiksi yang membuat dunia internasional mengernyitkan dahi.

Di depan peta strategi militer yang dipenuhi simbol-simbol tempur, Netanyahu dengan lantang menyatakan komitmennya untuk "menghancurkan Hamas sampai ke akar-akarnya." Wajahnya berkerut ketika menunjuk data intelijen tentang terowongan-terowongan bawah tanah di Rafah.

Namun dalam nada yang sama beratnya, ia tiba-tiba beralih membicarakan visi perdamaian jangka panjang. Transisi antara bahasa perang dan diplomasi terjadi begitu cair, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Dalam sebuah pertemuan terbatas dengan para jenderalnya, Netanyahu pernah berbisik lirih: "Kita harus berperang seperti belum pernah berperang sebelumnya, agar kita bisa berdamai seperti belum pernah berdamai sebelumnya." Kalimat berlawanan ini menjadi pedoman taktis yang membingungkan banyak pengamat.

Di siang hari, ia mengawasi latihan tempur pasukan khusus di Gurun Negev; di malam yang sama, ia menerima telepon dari mediator Qatar untuk membahas pertukaran tahanan.

Sejarah panjang Netanyahu menunjukkan pola yang sama: setelah Operasi Pillar of Defense 2012, ia justru menyetujui gencatan senjata yang diprakarsai Mesir. Pasca-Operasi Protective Edge 2014, pemerintahannya membuka negosiasi tidak langsung dengan Hamas. Kini, di tengah Operation Iron Swords yang berdarah-darah, ia kembali mengizinkan pembicaraan perdamaian—seolah setiap penghancuran harus diimbangi dengan penawaran rekonsiliasi.

sumber : Antara

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |