Kisah Perempuan-Perempuan yang Mengubah Kutukan Menjadi Berkah di Gajah Mati

2 hours ago 5

Home > Gaya Hidup Wednesday, 05 Nov 2025, 17:22 WIB

Mereka belajar membuat simplisia (bahan obat kering), menggilingnya menjadi serbuk, dan mengemasnya dalam bentuk yang praktis seperti kapsul, teh celup, dan minuman instan.

 Humas Medco)Ibu-ibu Desa Gajah mati dengan toga (tanaman obat keluarga). (FOTO: Humas Medco)

Prolog:

Ada sebuah paradoks yang menggelitik, sekaligus mengusik, dalam jantung peradaban modern. Joseph E. Stiglitz, sang peraih Nobel Ekonomi tahun 2001, menyebutnya dengan nama yang dramatis “The Resource Curse” atau “Kutukan Sumber Daya Alam”. Dalam buku berjudul “Covering Oil”, yang menjadi “kitab suci” bagi jurnalis yang meliput energi dan pembangunan, profesor dari Columbia University ini memaparkan teka-teki yang memilukan. Menurutnya, rata-rata, negara-negara yang dikaruniai kekayaan alam melimpah—minyak, gas, emas, berlian—justru memiliki performa ekonomi yang lebih buruk, tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, dan institusi yang lebih lemah dibandingkan dengan negara-negara yang miskin sumber daya.

Anugerah sumber daya alam yang seharusnya menjadi tiket menuju kemakmuran, justru berubah menjadi kutukan yang membelenggu. Contohnya Venezuela, negara ini adalah contoh paling tragis dari paradoks ini. Negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia itu, seperti dikutip Stiglitz dari San Francisco Chronicle tahun 2000, menggambarkan “ekonomi minyak bukan memakmurkan, malah memiskinkan”. Negara di benua latin tersebut menghadapi kenyataan pahit: hiperinflasi, antrian untuk sesuap makanan, dan eksodus massal warganya.

Namun, kutukan bukanlah takdir yang mutlak. Stiglitz juga memberikan secercah pengecualian. Tiga puluh tahun silam, Indonesia dan Nigeria berdiri di garis start yang hampir sama; sama-sama bergantung pada minyak bumi. Namun, pada awal milenium baru, Indonesia telah melesat, dengan pendapatan per kapita sekitar empat kali lipat Nigeria. Apa yang membedakan mereka? Bukan pada ada atau tidaknya minyak, tetapi pada bagaimana kekayaan itu dikelola, didistribusikan, dan diubah menjadi modal untuk membangun manusia dan masyarakat.

***

KINGDOMSRIWIJAYA-REPUBLIKA NETWORK -- Di salah satu sudut Sumatera Selatan (Sumsel), tepatnya di Desa Gajah Mati, Kecamatan Babat Supat, Musi Banyuasin, sebuah usaha kecil nan dahsyat sedang berlangsung. Di atas hamparan bumi yang menyimpan “cairan emas hitam”, narasi kutukan itu sedang ditantang, ditulis ulang kata demi kata, oleh tangan-tangan yang biasanya memetik daun, meracik rimpang, dan membuka lembaran baru kehidupan. Ini adalah cerita tentang bagaimana Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) sebuah perusahaan migas, PT Medco E&P Indonesia, tidak sekadar menyalurkan dana, tetapi mengobarkan semangat.

Image

MASPRIL ARIES

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Read Entire Article
IDX | INEWS | SINDO | Okezone |