REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran mengatakan saat ini mereka tidak lagi terikat dengan perjanjian yang bertujuan membatasi program nuklirnya, yakni Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Hal itu karena tiga negara yang menjadi pihak dalam JCPOA, yakni Prancis, Inggris, dan Jerman mengaktifkan kembali pemberlakuan sanksi PBB terhadap Teheran pada September lalu.
"Mulai sekarang, semua ketentuan (kesepakatan), termasuk pembatasan program nuklir Iran dan mekanisme terkaitnya, dianggap berakhir", kata Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Iran pada Sabtu (18/10/2025), dikutip laman Al Arabiya.
Hari berakhirnya JCPOA ditetapkan pada 18 Oktober 2025, tepat 10 tahun setelah diabadikan dalam resolusi Dewan Keamanan PBB 2231. Kendati demikian, Iran menyatakan tetap membuka diri untuk berdialog.
"Iran dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap diplomasi," ungkap Kemenlu Iran.
Atas inisiatif Prancis, Inggris, dan Jerman, sanksi PBB yang meluas terhadap Iran kembali berlaku pada akhir September 2025 lalu, pertama kalinya dalam satu dekade. Ketiga negara menuduh Iran tidak bekerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Selain itu, mereka menginginkan Iran kembali berunding dengan Amerika Serikat (AS), yang juga sempat menjadi pihak dalam JCPOA.
Pada 2018, AS, di bawah kepemimpinan Donald Trump, memutuskan hengkang dari JCPOA. Kala itu Trump beralasan JCPOA sebagai kesepakatan yang "cacat" karena tidak turut mengatur soal program rudal balistik Iran dan pengaruh negara tersebut di kawasan.
Setelah menarik AS dari JCPOA, Trump memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Merespons langkah Washington, Iran memutuskan turut menangguhkan keterlibatannya dalam JCPOA.
Trump kemudian mulai melakukan pengayaan uranium hingga melampaui 3,67 persen. Sebelumnya, JCPOA mengatur bahwa Iran tak boleh memperkaya uranium hingga melewati ambang batas tersebut.
Menurut IAEA, Iran adalah satu-satunya negara tanpa program senjata nuklir yang mampu memperkaya uranium hingga 60 persen. Angka itu mendekati ambang batas 90 persen yang dibutuhkan untuk sebuah bom, dan jauh di atas tingkat yang dibutuhkan untuk penggunaan nuklir sipil.
Kendati demikian, Iran selalu membantah tudingan Barat yang menyebutnya berusaha mengembangkan senjata nuklir. Pada Juli 2025 lalu, Iran menangguhkan kerja sama dengan IAEA setelah terlibat pertempuran udara dengan Israel. Iran menilai, IAEA gagal mengutuk serangan Israel dan AS terhadap fasilitas nuklirnya.
Kampanye pengeboman yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Israel dan pembalasan oleh Iran selama perang 12 hari menggagalkan negosiasi nuklir yang sedang berlangsung antara Teheran dan Washington.