REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surah an-Nahl merupakan surah ke-16 dalam urutan surah-surah dalam Alquran. Ayat-ayatnya berjumlah 128.
Sebagian besar ahli tafsir sepakat bahwa surah ini tergolong Makkiyah, yaitu diturunkan di Makkah, kecuali beberapa ayat yang termasuk Madaniyah.
Surah ini dinamakan an-Nahl karena di dalamnya dibicarakan tentang lebah (an-nahl), serangga yang bermanfaat bagi manusia dengan menghasilkan makanan dan obat. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.
Surah ini juga disebut an-Ni‘am karena banyak membahas nikmat yang telah Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya, seperti nikmat hujan, matahari, bulan, bintang, anak, dan istri. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nahl: 18)
Secara umum, tujuan surah an-Nahl berfokus pada tema utama keimanan, yang meliputi ketuhanan, wahyu, dan kebangkitan. Surah ini juga menyinggung tujuan-tujuan tambahan yang berkaitan dengan tema utama tersebut.
Salah satu kebenaran terpenting yang disoroti dalam surah ini adalah tentang keesaan Allah, yang menghubungkan agama Nabi Ibrahim dan agama Nabi Muhammad SAW.
Surah ini juga menyinggung tentang kehendak Ilahi dan kehendak manusia dalam hal keimanan dan kekafiran, petunjuk dan kesesatan. Di dalamnya dijelaskan pula fungsi para rasul serta ketentuan Allah SWT terhadap orang-orang kafir.
Selain tema akidah, surah ini juga membahas persoalan hukum dan akhlak, seperti keadilan, amal kebajikan, sedekah, pemenuhan janji, serta perilaku yang didasarkan pada iman.
Tujuan dari ayat-ayat surah ini dapat dirangkum sebagai berikut.
Pertama, menyebutkan berbagai nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya secara rinci, agar membangkitkan rasa syukur dan mendorong manusia untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemberi nikmat.
Nikmat tersebut antara lain pendengaran, penglihatan, pasangan hidup, anak, hujan, makanan, serta tempat berlindung dari panas dan dingin.
Kedua, membicarakan bukti-bukti tauhid dengan menjelaskan keagungan ciptaan Allah SWT, hakikat hari kebangkitan dan pembalasan, serta memperingatkan orang-orang musyrik tentang datangnya hari kiamat dan azab.
Ketidakpercayaan mereka terhadap akhirat disebabkan oleh “hati mereka mengingkari” (QS an-Nahl: 22). Kekafiran adalah sifat laten yang menghalangi mereka mengenali tanda-tanda kebesaran Allah. “Dan mereka sombong” (QS an-Nahl: 22), karena kesombongan menghalangi mereka untuk tunduk dan berserah diri.
Ketiga, surah ini menampilkan sifat manusia ketika ditimpa kesusahan; mereka memohon pertolongan kepada Allah SWT. Namun, setelah kesusahan itu dihilangkan, sebagian dari mereka kembali mempersekutukan-Nya:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ ثُمَّ إِذَا كَشَفَ الضُّرَّ عَنْكُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ
“Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Bila kamu ditimpa kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudaratan itu darimu, tiba-tiba sebagian darimu mempersekutukan Tuhanmu.” (QS an-Nahl: 53–54)
Keempat, menjelaskan sejumlah hukum syariat yang bersifat umum, seperti perintah menegakkan keadilan, bersedekah, menjauhi perbuatan keji dan mungkar, menepati janji, berhijrah, berjihad, serta bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya yang tak terhitung.
Kelima, surah ini berbicara tentang Nabi Ibrahim AS dan menggambarkannya sebagai sosok teladan dalam keteguhan iman:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS an-Nahl: 120)